Lets start to learn everything

Senin, 03 November 2008

Wawancara Surya Dharma, MPA, PhD, Direktur Tenaga Kependidikan Depdiknas: Memberi Nilai Tambah Rintisan SBI


Wawancara Surya Dharma, MPA, PhD, Direktur Tenaga Kependidikan Depdiknas: Memberi Nilai Tambah Rintisan SBI

Oleh: Saiful Anam/Pen
Kemampuan bahasa Inggris kepala sekolahnya rendah: separuhnya di bawah tingkat elementary, hanya 10% benar-benar mampu berbahasa Inggris dengan baik. Mengguyur block grant untuk kepala sekolah dan mengirim studi ke luar negeri.
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, telah menetapkan 260 sekolah sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (R-SBI). Sesuai namanya, statusnya masih sebatas rintisan, belum definitif SBI. Diharapkan, sekolah-sekolah tersebut berhasil melepaskan predikat rintisannya dan menjadi SBI sungguhan pada tahun 2009.

Tetapi, untuk menuju ke sana, tantangan berat menghadangnya. Salah satunya adalah kesiapaan kualitas pendidik dan tenaga kependidikannya, termasuk di dalamnya kepala sekolah. Tugas untuk meningkatkan mutu kepala sekolah R-SBI itu menjadi tanggungjawab Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK), Departemen Pendidikan Nasional. Bagaimana kondisi mutu kepala sekolah R-SBI dewasa ini? Apa saja program yang dilakukan Direktorat Tenaga Kependidikan untuk meningkatkan mutu mereka? Berikut wawancara Saiful Anam dari Penapendidikan dengan Surya Dharma, MPA, Ph.D, Direktur Tenaga Kependidikan.


Sekolah Bertaraf Internasional merupakan salah satu program Departemen Pendidikan Nasional untuk meningkatkan mutu sekolah. Ditjen Manajemen Dikdasmen telah menetapkan 260 sekolah rintisan SBI. Terkait kesiapan sumber daya manusianya, bagaimana Anda melihatnya?
SBI merupakan salah satu program Depdiknas yang cukup berat untuk direalisasikan. Ditjen Mandikdasmen telah menetapkan 260 sekolah rintisan SBI, terdiri dari 100 SMP, 100 SMA, dan 60 SMK. Kalau indikatornya pada aspek fisik memang relatif mudah mengukurnya. Tinggal membangun atau merehab sekolahnya menjadi bagus, melengkapi laboratorium, perpustakaan, ruangannya ber-AC, ada kolam renang, bukunya sangat lengkap, dan lain-lain.
Tetapi, yang namanya SBI kan bukan sekadar itu. Kesiapan sumber daya manusia (SDM)-nya jauh lebih penting. Kesiapan SDM sekolah itu akan mempengaruhi kualitas proses pembelajaran, iklim sekolah, budaya sekolah, prestasi belajar siswa, dan lain-lain. Apalagi, kalau rintisan SBI itu nanti ternyata sebagian tidak berhasil menjadi SBI sungguhan, yang paling mudah disalahkan kan manusianya, yaitu kepala sekolah dan guru-gurunya. Karena itu, menyiapkan kepala sekolah dan guru-gurunya itu jauh lebih ber
at dibanding melengkapi sarana dan prasarananya.

Sebagai sekolah berlabel rintisan SBI, idealnya kepala sekolahnya harus mahir berbahasa Inggris. Bagaimana menurut Anda?
Saya setuju, dan kami sudah melakukan pemetaan terhadap kemampuan berbahasa Inggris mereka. Ini salah satu program yang kami lakukan pada tahun 2007. Masyarakat kan tidak tahu peta R-SBI itu seperti apa. Tapi dengan tes bahasa Inggris yang kami lakukan dengan TOEIC (Test of English for International Communication), sekarang hasilnya sudah ketahuan dan membuat kita prihatin.
Bayangkan, dari 260 kepala sekolah yang kita tes bahasa Inggrisnya, sekitar 50% nilainya di bawah 245. Atau, tingkat kemampuannya berada pada tingkat di bawah elementary. Hanya sekitar 10% yang benar-benar mampu berbahasa Inggris dengan baik. Itu pun karena kebanyakan mereka berlatarbelakang sarjana pendidikan bahasa Inggris. Inilah fakta yang kita temukan di lapangan, tidak usah kita tutup-tutupi. Justru tantangan kita ke depan adalah bagaimana meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka. Namanya saja SBI, kalau kemampuan bahasa Inggris kepala sekolahnya kacau kan tidak lucu.
Kalau salah satu kriteria SBI adalah kepala sekolahnya harus mempunyai kemampuan bahasa Inggris yang memadai, kan masih jauh. Karena itu, kalau kita berharap tahun 2009 rintisan SBI nanti benar-benar menjadi SBI, tentu ini pekerjaan berat.


Lantas apa yang akan Anda lakukan untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka?
Kita akan melakukan treatment untuk memperbaiki kemampuan bahasa Inggris mereka. TOEIC sudah punya program atau materi-materi pembelajaran bahasa Inggris yang bisa dipelajari sendiri oleh kepala sekolah. Lebih bagus lagi kalau kepala sekolah punya inisiatif untuk mengikuti kursus, dengan syarat jangan sampai menelantarkan tugas pokoknya sebagai kepala sekolah.


Kalau kepala sekolahnya saja kemampuan bahasa Inggrisnya seperti itu, bagaimana dengan guru-gurunya?
Iya, itu juga pekerjaan berat. Sesuai buku panduan SBI, pengajaran matematika dan IPA harus menggunakan bilingual, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Persoalannya, apa betul guru-guru matematika dan IPA di R-SBI itu memiliki kemampuan bahasa Inggris yang memadai. Jangan-jangan mereka malah stres. Oleh karena itu, ini menjadi tantangan berat kita ke depan untuk merealisasikan SBI, yaitu menyiapkan SDM-nya.

Selain kemampuan berbahasa Inggris, indikator apa lagi yang bisa digunakan dengan mudah untuk mengetahui kemampuan SDM di R-SBI?
Bisa juga kemampuan teknologi informasi (IT)-nya. Sebagai perbandingan, di Turki setiap guru punya satu laptop. Di sekolah-sekolah rintisan SBI kalau kepala sekolahnya bisa mengoperasikan komputer dengan baik saja sudah bagus. Kemampuan IT mereka memang belum kita petakan. Bisa saja nanti kami lakukan pada tahun 2008.

Di samping melakukan pemetaan terhadap kemampuan bahasa Inggris para kepala sekolah R-SBI, program-program apa lagi yang Anda lakukan untuk meningkatkan mutu mereka?

Kami telah menyalurkan dana block grant ke mereka masing-masing Rp 100 juta. Dana itu diharapkan mampu menggairahkan mereka untuk meningkatkan kualitasnya.
Selain itu, kami juga mengirim mereka belajar ke luar negeri, yaitu ke Turki, Malaysia, dan Singapura. Mereka belajar di tiga negara itu sekitar dua pekan. Ada 100 kepala sekolah yang kita kirim ke National Insitute of Education (NIE) di Singapura, November lalu. Mereka terdiri dari 75 kepala SMA dan 25 kepala SMP. Sekitar 75 kepala sekolah juga kita kirim ke Malaysia.
Kami juga mengirim 50 kepala sekolah ke Turki, dan kebetulan saya sendiri yang mendampingi. Pengiriman kepala sekolah ke Turki itu juga atas saran Pak Menteri sebagai bagian dari rencana penandatanganan kerjasama peningkatan mutu pendidikan antara Turki dan Indonesia.
Selama melakukan kunjungan ke Turki, mereka antara lain mengikuti kegiatan seminar enam hari. Saya tongkrongi terus mereka selama mengikuti seminar itu, yang membahas tentang sistem pendidikan di Turki, kurikulumnya, sistem pembelajarannya, sistem pengawasan sekolah, dan upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan mutu guru dan kepala sekolah. Sayangnya, dari 50 kepala sekolah yang kita kirim ke sana, hanya dua orang yang bisa bahasa Inggris dengan baik.
Manfaat apa saja yang diharapkan dari pengiriman kepala sekolah R-SBI ke tiga negara itu?
Paling tidak ada tiga hal. Pertama, meningkatkan rasa percaya diri. Dengan melihat langsung penyelenggaraan pendidikan di negara-negara tersebut, diharapkan mereka menjadi lebih percaya diri dan termotivasi untuk meningkatkan mutu sekolahnya agar bisa bersaing dengan sekolah-sekolah berkelas dunia.
Kedua, mengambil sisi-sisi positif dari kegiatan pembelajaran. Di Turki, misalnya, para kepala sekolah melihat sendiri pelaksanaan pembelajaran di sana, melihat langsung kegiatan moving class, aktivitas organisasi semacam MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) dan MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), dan lain-lain. Mereka juga melihat, setelah jam pelajaran sekolah usai, guru-guru di sana masih tinggal di sekolah sampai sore untuk mendiskusikan persoalan-persoalan yang muncul pada hari itu.
Ketiga, meningkatkan hubungan kerjasama antara sekolah dengan masyarakat. Turki merupakan contoh sangat baik tentang kedekatan hubungan antara sekolah dengan orangtua siswa dan masyarakat sekitar sekolah. Bahkan sekolah menyediakan kamera monitor yang bisa diakses oleh orangtua siswa dari rumahnya. Orangtua di rumah bisa tahu anaknya di sekolah sedang melakukan kegiatan apa, di dalam kelas aktif atau tidak, dan lain-lain. Jadi orangtua ikut mengawasi jalannya kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, guru juga tidak bisa berbuat macam-macam. Dan guru-guru di sana memperlakukan siswa-siswanya dengan sangat baik.
Pengiriman kepala sekolah ke tiga negara itu sangat penting karena kita menyadari bahwa persoalan SBI bukan hanya menyangkut kelengkapan gedung, tapi persoalan mind set atau pola pikir kepala sekolah. Oleh sebab itu, kita beri wawasan internasional mereka dengan mengirim belajar ke Singapura, Malasyia, dan Turki. Mereka belajar tentang leadership untuk menghadapi kompetisi internasional. Cakrawala dan paradigma tentang kepemimpinan maupun kegiatan pembelajaran diharapkan berubah menjadi lebih baik.

Selama berkunjung ke tiga negara tersebut, apakah mereka juga melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah untuk dijadikan rujukan bagi pengembangan SBI di sini?
Ya. Di Turki, misalnya, mereka kita ajak berkunjung ke sebuah sekolah setingkat SMA di Kota Angkara. Bangunan sekolah tersebut terdiri dari empat tingkat. Lantai 1, 2, dan 3 dipakai untuk kegiatan sekolah, sedangkan lantai 4 untuk asrama dan penginapan bagi tamu. Di sekolah tersebut juga ada ruang seminarnya.
Turki kita pilih karena, menurut Pak Menteri, merupakan satu-satunya negara yang bisa dijadikan contoh tentang besarnya perhatian masyarakat bisnis terhadap pendidikan. Mereka menyisihkan sebagian pendapatannya untuk membangun pendidikan. Apalagi mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia.


Apakah di Turki dan negara-negara lain juga memberlakukan bilingual?

Kalau saya lihat di Turki, juga Cina yang pernah saya kunjungi, mereka tidak mengutamakan kemampuan bahasa Inggris sebagai persyaratan yang menentukan bagi guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Bahkan di Cina kemampuan bahasa Inggris guru-gurunya sangat kacau, tapi kegiatan pembelajarannya bagus. Begitu pula di Turki, saya lihat banyak gurunya yang tidak bisa berbagasa Inggris, tapi pembelajarannya bagus. Kurikulum-kurikulum sekolah internasional seperti Cambridge mereka terapkan dengan menggunakan bahasa mereka sendiri.
Korea, Perancis, Jerman, kan juga begitu. Mereka lebih mengutamakan proses pembelajarannya, bukan kemampuan berbahasa Inggrisnya. Kurikulum Cambridge antara lain menuntut kreativitas tinggi dan kemampuan memecahkan masalah. Itu yang mereka lakukan dengan bahasa mereka sendiri.
Malaysia juga tak jauh beda. Di sana ada yang namanya cluster school, yang merupakan sekolah-sekolah berkualitas sangat baik. Ada sekitar 30 s.d 40 cluster school. Sekolah-sekolah itu menjadi pusat pembiakan bagi sekolah-sekolah lain dalam meningkatkan mutunya. Mereka juga tidak mengharuskan bilingual. Guru-guru dipersilahkan melakukan bilingual, tapi tidak dipaksa.

Melihat kesiapan SDM di R-SBI kita masih seperti itu, lantas apa yang harus dilakukan ke depan?
Fakta-fakta yang saya sampaikan di atas memberi gambaran bahwa banyak pekerjaan berat yang harus kita lakukan ke depan. SBI merupakan amanat UU Sisdiknas dan menjadi program Depdiknas. Tugas kita adalah merealisasikan program tersebut untuk meningkatkan mutu pendidikan. Kita akan terus memberi sentuhan dari sisi peningkatan kualitas tenaga kependidikannya, terutama kepala sekolahnya.


0 komentar: