Lets start to learn everything

Sabtu, 20 Desember 2008

Pendidikan Masa Depan... Holistik





Kiat Mendapatkan Dana untuk Kegiatan Internet di Sekolah
Dalam era baru ini banyak sekolah yang sudah melaksanakan proses Managemen Berbasis Sekolah telah mampu mengatasi permasalahan dana dan solusinya.

Yang penting sekarang adalah bagaimana kepala sekolah dan semua lingkungan sekolah tersebut bekerjasama untuk mencapai pengembangan sekolah yang diinginkan. Kuncinya adalah komunikasi yang terbuka dan transparan.

Jika Anda ingin mengembangkan fasilitas Internet di sekolah maka peralatan seperti komputer dan modem bukan merupakan hal utama. Masalah utama yaitu tersedianya proposal yang rasional dan jelas serta menguntungkan bagi siswa/i

Hal selanjutnya adalah cara mensosialisasikan proposal tersebut kepada semua lingkungan sekolah. Sebaiknya membentuk suatu "Tim Pengembangan Sekolah" termasuk didalamnya adalah wakepsek, guru, siswa/i, BP3, dan tokoh masyarakat.

Kalau semua lingkungan sekolah sudah memahami dan mendukung konsep tersebut tidaklah sulit untuk melaksanakan program "proyek" ini. Disebut "proyek" karena sekarang semua sekolah harus punya rencana pembangunan sekolah termasuk beberapa "proyek sekolah" yang bisa dihasilkan bersama-sama dengan lingkungannya secara mandiri.

Walapun keadaan ekonomi keluarga sekarang sedang susah namun kita harus tetap bertanggungjawab atas kebutuhan masa depan anak kita. Kalau orangtua siswa/i dan lingkungan sekolah percaya terhadap program tersebut (proyek sekolah) tentu mereka akan mendukungnya.

Jika kita hitung biaya peralatan komputer modem dsb sekitar lima juta Rupiah dan jumlah siswa/i sekitar 800 ratus orang, maka biaya yang dikeluarkan setiap keluarga adalah : Rp 6,250 .
Besarnya biaya tersebut dapat dikurangi dengan cara-cara berikut :
Adanya sebagian anggaran yang dialokasikan dari sekolah untuk proyek ini dan sekaligus membuktikan bahwa proyek ini penting bagi sekolah.
Mensosialisasikan proyek ini kepada dunia industri dan bisnis di daerah sekitar sekolah untuk mendapatkan sponsorship.
Siswa-siswi bisa mengumpulkan dana dengan cara mengadakan kegiatan-kegiatan yang menghasilkan uang seperti kegiatan bazar, dsb.
Dengan melakukan pinjaman dari bank tetapi ini merupakan pilihan terakhir.

* Sebaiknya membeli peralatan di toko di daerah sekitar sekolah supaya garansi yang didapat gampang digunakan dan mendapatkan bantuan untuk memasang fasilitasnya jika diperlukan. Untuk itu kenalilah personel atau pemilik toko dengan baik.
Sumber : School development net.

Selasa, 04 November 2008

Belajar dari Qaryah Thayyibah, Pendidikan Alternatif yang Membebaskan

Tadi pagi, ada seorang pejabat sekolah, bergumam; " kita seharusnya bersyukur telah berhasil membangun gedung sekolah tingkat 3...bla bla bla...."  Sepertinya beliau menikmati benar akan keberadaan gedung sekolah yang megah, yang telah berhasil didirikan dengan susah payah, dengan dana yang tidak sedikit serta pengorbanan waktu serta moril yang amat menggunung. Sungguh memang keberhasilan yang patut diacungkan jempol. Tinggal kita selaraskan saja fasilitas yang amat memadai ini dengan program pendidikan yang harus segera dilaksanakan setiap detik untuk anak didik, maksudnya siswa-siswanya..
Sekarang kita tengok kondisi nun jauh di sebuah desa, ada cerita sudah agak lama tapi esensinya baru tersingkap- bila kita hanya memikirkan tentang fasilitas yang teramat megah yang sudah kita miliki. Coba simak ya....



Sekolah Global di Desa Kecil Kalibening
FINA Af'idatussofa (14) bukan siswa sekolah internasional dan bukan anak orang berada. Ia lahir sebagai anak petani di Desa Kalibening, tiga kilometer perjalanan arah selatan dari kota Salatiga menuju Kedungombo, Jawa Tengah. Karena orangtuanya tidak mampu, ia terpaksa melanjutkan sekolah di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah di desanya. Namun, dalam soal kemampuan Fina boleh dipertandingkan dengan siswa sekolah-sekolah mahal yang kini menjamur di Jakarta.
MESKI bersekolah di desa dan menumpang di rumah kepala sekolahnya, bagi Fina internet bukan hal yang asing. Ia bisa mengakses internet kapan saja. Setiap pagi berlatih bahasa Inggris dalam English Morning. Ia pernah menjuarai penulisan artikel on line di kotanya. Ia juga berbakat dalam olah vokal meski ia mengatakan tidak ingin menjadi seorang penyanyi.

"Kalau menjadi penyanyi, pekerjaanku hanya menyanyi. Padahal, cita-citaku banyak. Aku ingin jadi presenter, aku ingin jadi penulis, pengarang lagu, ilmuwan, dan banyak lagi? Aku juga ingin berkeliling dunia," kata Fina.


SMP Alternatif Qaryah Thayyibah resmi terdaftar sebagai SMP Terbuka, sekolah yang sering diasosiasikan sebagai sekolah untuk menampung orang-orang miskin agar bisa mengikuti program wajib belajar sembilan tahun. Namun, siswa SMP Alternatif Qaryah Thayyibah sangat mencintai dan bangga dengan sekolahnya.

Pukul 06.00 sekolah sudah mulai dan baru berakhir pada pukul 13.30. Akan tetapi, jam sekolah itu terasa sangat pendek bagi murid-murid sekolah tersebut sehingga setelah makan siang mereka biasanya kembali lagi ke sekolah. Mereka belajar sambil bermain di sekolahnya sampai malam, bahkan tak jarang mereka menginap di sekolah.

Murid-murid SMP Qaryah Thayyibah memang sangat menikmati sekolahnya. Bersekolah merupakan sesuatu yang menyenangkan. Guru bukanlah penguasa otoriter di kelas, tetapi teman belajar. Mereka bebas berbicara dengan gurunya dalam bahasa Jawa ngoko, strata bahasa yang hanya pantas untuk berbicara informal dengan kawan akrab.

Di kelas mereka juga sangat bebas. Mereka bisa asyik mengerjakan soal-soal matematika dengan bersenda gurau, ada yang mengerjakan soal sambil bersenandung, yang lain bermain monopoli. Suasana bermain itu bahkan di taman kanak-kanak pun kini makin langka karena mereka dipaksa oleh gurunya untuk membaca dan menulis.

SMP Qaryah Thayyibah lahir dari keprihatinan Bahruddin melihat pendidikan di Tanah Air yang makin bobrok dan semakin mahal. Pada pertengahan tahun 2003 anak pertamanya, Hilmy, akan masuk SMP. Hilmy telah mendapatkan tempat di salah satu SMP favorit di Salatiga. Namun, Bahruddin terusik dengan anak-anak petani lainnya yang tidak mampu membayar uang masuk SMP negeri yang saat itu telah mencapai Rp 750.000, uang sekolah rata-rata Rp 35.000 per bulan, belum lagi uang seragam dan uang buku yang jumlahnya mencapai ratusan ribu rupiah.

"Saya mungkin mampu, tetapi bagaimana dengan orang-orang lain?" tuturnya. Bahruddin yang menjadi ketua rukun wilayah di kampungnya kemudian berinisiatif mengumpulkan warganya menawarkan gagasan, bagaimana jika mereka membuat sekolah sendiri dengan mendirikan SMP alternatif. Dari 30 tetangga yang dikumpulkan, 12 orang berani memasukkan anaknya ke sekolah coba-coba itu. Untuk menunjukkan keseriusannya, Bahruddin juga memasukkan Hilmy ke sekolah yang diangan-angankannya.

"Saya ingin membuat sekolah yang murah, tetapi berkualitas. Saya tidak berpikir saya akan bisa melahirkan anak yang hebat-hebat. Yang penting mereka bisa bersekolah," kata Bahruddin.

Bahruddin mengadopsi kurikulum SMP reguler di sekolahnya. Ia menyatakan tidak sanggup menyusun kurikulum sendiri. Lagi pula sekolah akan diakui sebagai sekolah berkualitas jika bisa memperoleh nilai yang baik dan mendapatkan ijazah yang diakui pemerintah. Karena itulah ia memilih format SMP Terbuka. Akan tetapi, ia mengubah kecenderungan SMP Terbuka sekadar sebagai lembaga untuk membagi-bagi ijazah dengan mengelola pendidikannya secara serius.


Sekolah itu menempati dua ruangan di rumah Bahruddin, yang sebelumnya digunakan untuk Sekretariat Organisasi Tani Qaryah Thayyibah. Jumlah guru yang mengajar sembilan orang, semuanya lulusan institut agama Islam negeri dan sebagian besar di antaranya para aktivis petani.

Guru pelajaran Matematika-nya seorang lulusan SMA yang kini mondok di pesantren. Akses internet gratis 24 jam diperoleh dari seorang pengusaha internet di Salatiga yang tertarik dengan gagasan Bahruddin. Dengan modal seadanya sekolah itu berjalan.


Ternyata pengakuan terhadap keberadaan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah tidak perlu waktu lama. Nilai rata- rata ulangan murid SMP Qaryah Thayyibah jauh lebih baik daripada nilai rata-rata sekolah induknya, terutama untuk mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris.

Sekolah itu juga tampil meyakinkan, mengimbangi sekolah-sekolah negeri dalam lomba cerdas cermat penguasaan materi pelajaran di Salatiga. Sekolah itu juga mewakili Salatiga dalam lomba motivasi belajar mandiri di tingkat provinsi, dikirim mewakili Salatiga untuk hadir dalam Konvensi Lingkungan Hidup Pemuda Asia Pasifik di Surabaya. Pada tes kenaikan kelas satu, nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Inggris siswa Qaryah Thayyibah mencapai 8,86.


SMP Alternatif Qaryah Thayyibah juga maju dalam berkesenian. Di bawah bimbingan guru musik, Soedjono, anak-anak sekolah bergabung dalam grup musik Suara Lintang. Kebolehan anak-anak itu dalam menyanyikan lagu mars dan himne sekolah dalam versi bahasa Inggris dan Indonesia bisa didengarkan ketika membuka alamat situs sekolah www.pendidikansalatiga.net/qaryah. Grup musik anak-anak desa kecil itu telah mendokumentasikan lagu tradisional anak dalam kaset, MP3, maupun video CD album Tembang Dolanan Tempo Doeloe yang diproduksi sekaligus untuk pencarian dana. Seluruh siswa bisa bermain gitar, yang menjadi keterampilan wajib di sekolah itu.


Sulit dibayangkan anak- anak petani sederhana itu masing-masing memiliki sebuah komputer, gitar, sepasang kamus bahasa Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris, satu paket pelajaran Bahasa Inggris BBC di rumahnya. Semua itu tidak digratiskan. Anak-anak memiliki semua itu dengan mengelola uang saku bersama-sama sebesar Rp 3.000 yang diterima anak dari orangtuanya setiap hari. Uang sebesar Rp 1.000 dipergunakan untuk mengangsur pembelian komputer. Untuk sarapan pagi, minum susu, madu, dan makanan kecil tiap hari Rp 1.000, sedangkan Rp 1.000 lainnya untuk ditabung di sekolah. Tabungan sekolah itu dikembalikan untuk keperluan murid dalam bentuk gitar, kamus, dan lain-lainnya.

Tidak mengherankan jika anak-anak dan orangtua mereka bangga dengan sekolah itu. Betapa tidak, di sekolah yang berdekatan dengan rumah di sebuah desa kecil mereka mendapatkan banyak hal yang tidak diperoleh di sekolah-sekolah yang dikelola dengan logika dagang.

Ismanto (43) menceritakan, anaknya sempat down saat mendaftar SLTP di Salatiga dua tahun lalu. Uang masuknya Rp 200.000, belum termasuk buku dan seragam. Tidak ada seorang murid pun ke sekolah dengan berjalan kaki selain anaknya, Emi Zubaiti (13). Kini Emi menjadi seorang anak yang pandai dalam berbagai mata pelajaran, pintar bernyanyi, dan percaya diri. Ia tidak pernah membayangkan bisa menyekolahkan Emi, anak pasangan tukang reparasi sofa dan bakul jamu gendong, mendapat sekolah yang baik.

Bahkan Ismanto ikut menikmati komputer yang dikredit dari uang saku anaknya. Dibimbing anaknya, sekarang Ismanto mulai belajar komputer. "Tidak pernah terpikir, saya bisa membelikan komputer. Kini saya malah bisa ikut menikmati," kata Ismanto.

Senin, 03 November 2008

Wawancara Surya Dharma, MPA, PhD, Direktur Tenaga Kependidikan Depdiknas: Memberi Nilai Tambah Rintisan SBI


Wawancara Surya Dharma, MPA, PhD, Direktur Tenaga Kependidikan Depdiknas: Memberi Nilai Tambah Rintisan SBI

Oleh: Saiful Anam/Pen
Kemampuan bahasa Inggris kepala sekolahnya rendah: separuhnya di bawah tingkat elementary, hanya 10% benar-benar mampu berbahasa Inggris dengan baik. Mengguyur block grant untuk kepala sekolah dan mengirim studi ke luar negeri.
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, telah menetapkan 260 sekolah sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (R-SBI). Sesuai namanya, statusnya masih sebatas rintisan, belum definitif SBI. Diharapkan, sekolah-sekolah tersebut berhasil melepaskan predikat rintisannya dan menjadi SBI sungguhan pada tahun 2009.

Tetapi, untuk menuju ke sana, tantangan berat menghadangnya. Salah satunya adalah kesiapaan kualitas pendidik dan tenaga kependidikannya, termasuk di dalamnya kepala sekolah. Tugas untuk meningkatkan mutu kepala sekolah R-SBI itu menjadi tanggungjawab Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK), Departemen Pendidikan Nasional. Bagaimana kondisi mutu kepala sekolah R-SBI dewasa ini? Apa saja program yang dilakukan Direktorat Tenaga Kependidikan untuk meningkatkan mutu mereka? Berikut wawancara Saiful Anam dari Penapendidikan dengan Surya Dharma, MPA, Ph.D, Direktur Tenaga Kependidikan.


Sekolah Bertaraf Internasional merupakan salah satu program Departemen Pendidikan Nasional untuk meningkatkan mutu sekolah. Ditjen Manajemen Dikdasmen telah menetapkan 260 sekolah rintisan SBI. Terkait kesiapan sumber daya manusianya, bagaimana Anda melihatnya?
SBI merupakan salah satu program Depdiknas yang cukup berat untuk direalisasikan. Ditjen Mandikdasmen telah menetapkan 260 sekolah rintisan SBI, terdiri dari 100 SMP, 100 SMA, dan 60 SMK. Kalau indikatornya pada aspek fisik memang relatif mudah mengukurnya. Tinggal membangun atau merehab sekolahnya menjadi bagus, melengkapi laboratorium, perpustakaan, ruangannya ber-AC, ada kolam renang, bukunya sangat lengkap, dan lain-lain.
Tetapi, yang namanya SBI kan bukan sekadar itu. Kesiapan sumber daya manusia (SDM)-nya jauh lebih penting. Kesiapan SDM sekolah itu akan mempengaruhi kualitas proses pembelajaran, iklim sekolah, budaya sekolah, prestasi belajar siswa, dan lain-lain. Apalagi, kalau rintisan SBI itu nanti ternyata sebagian tidak berhasil menjadi SBI sungguhan, yang paling mudah disalahkan kan manusianya, yaitu kepala sekolah dan guru-gurunya. Karena itu, menyiapkan kepala sekolah dan guru-gurunya itu jauh lebih ber
at dibanding melengkapi sarana dan prasarananya.

Sebagai sekolah berlabel rintisan SBI, idealnya kepala sekolahnya harus mahir berbahasa Inggris. Bagaimana menurut Anda?
Saya setuju, dan kami sudah melakukan pemetaan terhadap kemampuan berbahasa Inggris mereka. Ini salah satu program yang kami lakukan pada tahun 2007. Masyarakat kan tidak tahu peta R-SBI itu seperti apa. Tapi dengan tes bahasa Inggris yang kami lakukan dengan TOEIC (Test of English for International Communication), sekarang hasilnya sudah ketahuan dan membuat kita prihatin.
Bayangkan, dari 260 kepala sekolah yang kita tes bahasa Inggrisnya, sekitar 50% nilainya di bawah 245. Atau, tingkat kemampuannya berada pada tingkat di bawah elementary. Hanya sekitar 10% yang benar-benar mampu berbahasa Inggris dengan baik. Itu pun karena kebanyakan mereka berlatarbelakang sarjana pendidikan bahasa Inggris. Inilah fakta yang kita temukan di lapangan, tidak usah kita tutup-tutupi. Justru tantangan kita ke depan adalah bagaimana meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka. Namanya saja SBI, kalau kemampuan bahasa Inggris kepala sekolahnya kacau kan tidak lucu.
Kalau salah satu kriteria SBI adalah kepala sekolahnya harus mempunyai kemampuan bahasa Inggris yang memadai, kan masih jauh. Karena itu, kalau kita berharap tahun 2009 rintisan SBI nanti benar-benar menjadi SBI, tentu ini pekerjaan berat.


Lantas apa yang akan Anda lakukan untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka?
Kita akan melakukan treatment untuk memperbaiki kemampuan bahasa Inggris mereka. TOEIC sudah punya program atau materi-materi pembelajaran bahasa Inggris yang bisa dipelajari sendiri oleh kepala sekolah. Lebih bagus lagi kalau kepala sekolah punya inisiatif untuk mengikuti kursus, dengan syarat jangan sampai menelantarkan tugas pokoknya sebagai kepala sekolah.


Kalau kepala sekolahnya saja kemampuan bahasa Inggrisnya seperti itu, bagaimana dengan guru-gurunya?
Iya, itu juga pekerjaan berat. Sesuai buku panduan SBI, pengajaran matematika dan IPA harus menggunakan bilingual, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Persoalannya, apa betul guru-guru matematika dan IPA di R-SBI itu memiliki kemampuan bahasa Inggris yang memadai. Jangan-jangan mereka malah stres. Oleh karena itu, ini menjadi tantangan berat kita ke depan untuk merealisasikan SBI, yaitu menyiapkan SDM-nya.

Selain kemampuan berbahasa Inggris, indikator apa lagi yang bisa digunakan dengan mudah untuk mengetahui kemampuan SDM di R-SBI?
Bisa juga kemampuan teknologi informasi (IT)-nya. Sebagai perbandingan, di Turki setiap guru punya satu laptop. Di sekolah-sekolah rintisan SBI kalau kepala sekolahnya bisa mengoperasikan komputer dengan baik saja sudah bagus. Kemampuan IT mereka memang belum kita petakan. Bisa saja nanti kami lakukan pada tahun 2008.

Di samping melakukan pemetaan terhadap kemampuan bahasa Inggris para kepala sekolah R-SBI, program-program apa lagi yang Anda lakukan untuk meningkatkan mutu mereka?

Kami telah menyalurkan dana block grant ke mereka masing-masing Rp 100 juta. Dana itu diharapkan mampu menggairahkan mereka untuk meningkatkan kualitasnya.
Selain itu, kami juga mengirim mereka belajar ke luar negeri, yaitu ke Turki, Malaysia, dan Singapura. Mereka belajar di tiga negara itu sekitar dua pekan. Ada 100 kepala sekolah yang kita kirim ke National Insitute of Education (NIE) di Singapura, November lalu. Mereka terdiri dari 75 kepala SMA dan 25 kepala SMP. Sekitar 75 kepala sekolah juga kita kirim ke Malaysia.
Kami juga mengirim 50 kepala sekolah ke Turki, dan kebetulan saya sendiri yang mendampingi. Pengiriman kepala sekolah ke Turki itu juga atas saran Pak Menteri sebagai bagian dari rencana penandatanganan kerjasama peningkatan mutu pendidikan antara Turki dan Indonesia.
Selama melakukan kunjungan ke Turki, mereka antara lain mengikuti kegiatan seminar enam hari. Saya tongkrongi terus mereka selama mengikuti seminar itu, yang membahas tentang sistem pendidikan di Turki, kurikulumnya, sistem pembelajarannya, sistem pengawasan sekolah, dan upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan mutu guru dan kepala sekolah. Sayangnya, dari 50 kepala sekolah yang kita kirim ke sana, hanya dua orang yang bisa bahasa Inggris dengan baik.
Manfaat apa saja yang diharapkan dari pengiriman kepala sekolah R-SBI ke tiga negara itu?
Paling tidak ada tiga hal. Pertama, meningkatkan rasa percaya diri. Dengan melihat langsung penyelenggaraan pendidikan di negara-negara tersebut, diharapkan mereka menjadi lebih percaya diri dan termotivasi untuk meningkatkan mutu sekolahnya agar bisa bersaing dengan sekolah-sekolah berkelas dunia.
Kedua, mengambil sisi-sisi positif dari kegiatan pembelajaran. Di Turki, misalnya, para kepala sekolah melihat sendiri pelaksanaan pembelajaran di sana, melihat langsung kegiatan moving class, aktivitas organisasi semacam MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) dan MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), dan lain-lain. Mereka juga melihat, setelah jam pelajaran sekolah usai, guru-guru di sana masih tinggal di sekolah sampai sore untuk mendiskusikan persoalan-persoalan yang muncul pada hari itu.
Ketiga, meningkatkan hubungan kerjasama antara sekolah dengan masyarakat. Turki merupakan contoh sangat baik tentang kedekatan hubungan antara sekolah dengan orangtua siswa dan masyarakat sekitar sekolah. Bahkan sekolah menyediakan kamera monitor yang bisa diakses oleh orangtua siswa dari rumahnya. Orangtua di rumah bisa tahu anaknya di sekolah sedang melakukan kegiatan apa, di dalam kelas aktif atau tidak, dan lain-lain. Jadi orangtua ikut mengawasi jalannya kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, guru juga tidak bisa berbuat macam-macam. Dan guru-guru di sana memperlakukan siswa-siswanya dengan sangat baik.
Pengiriman kepala sekolah ke tiga negara itu sangat penting karena kita menyadari bahwa persoalan SBI bukan hanya menyangkut kelengkapan gedung, tapi persoalan mind set atau pola pikir kepala sekolah. Oleh sebab itu, kita beri wawasan internasional mereka dengan mengirim belajar ke Singapura, Malasyia, dan Turki. Mereka belajar tentang leadership untuk menghadapi kompetisi internasional. Cakrawala dan paradigma tentang kepemimpinan maupun kegiatan pembelajaran diharapkan berubah menjadi lebih baik.

Selama berkunjung ke tiga negara tersebut, apakah mereka juga melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah untuk dijadikan rujukan bagi pengembangan SBI di sini?
Ya. Di Turki, misalnya, mereka kita ajak berkunjung ke sebuah sekolah setingkat SMA di Kota Angkara. Bangunan sekolah tersebut terdiri dari empat tingkat. Lantai 1, 2, dan 3 dipakai untuk kegiatan sekolah, sedangkan lantai 4 untuk asrama dan penginapan bagi tamu. Di sekolah tersebut juga ada ruang seminarnya.
Turki kita pilih karena, menurut Pak Menteri, merupakan satu-satunya negara yang bisa dijadikan contoh tentang besarnya perhatian masyarakat bisnis terhadap pendidikan. Mereka menyisihkan sebagian pendapatannya untuk membangun pendidikan. Apalagi mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia.


Apakah di Turki dan negara-negara lain juga memberlakukan bilingual?

Kalau saya lihat di Turki, juga Cina yang pernah saya kunjungi, mereka tidak mengutamakan kemampuan bahasa Inggris sebagai persyaratan yang menentukan bagi guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Bahkan di Cina kemampuan bahasa Inggris guru-gurunya sangat kacau, tapi kegiatan pembelajarannya bagus. Begitu pula di Turki, saya lihat banyak gurunya yang tidak bisa berbagasa Inggris, tapi pembelajarannya bagus. Kurikulum-kurikulum sekolah internasional seperti Cambridge mereka terapkan dengan menggunakan bahasa mereka sendiri.
Korea, Perancis, Jerman, kan juga begitu. Mereka lebih mengutamakan proses pembelajarannya, bukan kemampuan berbahasa Inggrisnya. Kurikulum Cambridge antara lain menuntut kreativitas tinggi dan kemampuan memecahkan masalah. Itu yang mereka lakukan dengan bahasa mereka sendiri.
Malaysia juga tak jauh beda. Di sana ada yang namanya cluster school, yang merupakan sekolah-sekolah berkualitas sangat baik. Ada sekitar 30 s.d 40 cluster school. Sekolah-sekolah itu menjadi pusat pembiakan bagi sekolah-sekolah lain dalam meningkatkan mutunya. Mereka juga tidak mengharuskan bilingual. Guru-guru dipersilahkan melakukan bilingual, tapi tidak dipaksa.

Melihat kesiapan SDM di R-SBI kita masih seperti itu, lantas apa yang harus dilakukan ke depan?
Fakta-fakta yang saya sampaikan di atas memberi gambaran bahwa banyak pekerjaan berat yang harus kita lakukan ke depan. SBI merupakan amanat UU Sisdiknas dan menjadi program Depdiknas. Tugas kita adalah merealisasikan program tersebut untuk meningkatkan mutu pendidikan. Kita akan terus memberi sentuhan dari sisi peningkatan kualitas tenaga kependidikannya, terutama kepala sekolahnya.


Kamis, 25 September 2008

110 triliun tuk kesejahteraan guru?????

Tahun 2009 Menteri Pendidikan Nasional menggangarkan dana pendidikan dalam APBN 2009 senilai Rp224 triliun. Sebagiannya akan dipakai untuk meningkatkan kesejaterahan guru.

"APBN Tahun 2009 mengalami peningkatan 20 persen menjadi Rp224 triliun, sekitar Rp110 trilun kami anggarkan untuk kesejaterahan guru," kata Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo dalam acara berbuka bersama dengan wali kota Padang, Fauzi Bahar dengan jajaran Dinas Pendidikan Kota Padang di kampus Universitas Putra Indonesia, Padang, jalan Aur, Selasa (23/9/2008).

Bambang juga merincikan anggaran Rp224 triliun itu dialokasikan Rp75 triliun untuk Depdiknas, Rp110 triliun untuk kesejateraan guru, Rp20 triliun untuk Departemen Agama. Selain itu Mendiknas juga menggangarkan untuk di luar Depdiknas dan Depag sebanyak Rp4 triliun. Selebihnya sekitar Rp5 triliun untuk dinas pendidikan tingkat Kabupaten dan Kota seluruh Indonesia.

"Dengan naiknya anggaran pendidikan, gaji guru dan dosen akan mengalami kenaikan 15 persen disertai kenaikan tunjangan. Tahun depan, gaji guru bergolongan paling rendah sebulan bisa mencapai Rp2 juta," ujarnya.

Tak hanya gaji guru dinaikkan, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) juga akan dinaikan 50 persen sehingga wajib belajar 9 tahun untuk tingkat SD dan SMP gratis pada 2009 kecuali untuk sekolah yang berstandar internasional.

"Selain itu kita juga akan diberikan Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOM) untuk guru dan dosen sehingga kualitas tenaga pendidikan di Indonesia terus meningkat," katanya.
JAKARTA - Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla menegaskan, dunia pendidikan membutuhkan tenaga guru yang dinamis yang bisa memberikan pengajaran yang bermutu bagi murid. Jika seorang guru hanya sekadar meluluskan murid dengan nilai rendah, guru bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa.

"Guru itu pejuang tanpa tanda jasa. Tapi ada juga guru yang bukan pejuang, kalau dia hanya berbuat di bawah tanggung jawab, asal mengajar dan menaikkan murid. Guru yang termasuk pahlawan itu kalau berjuang dengan betul," tegas Kalla saat beraudiensi dengan alumni Pelatihan Guru Telkom-Republika di Istana Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu (2/7/2008).
Untuk mengetahui tingkat dinamika guru dalam memberikan ajaran kepada murid, Kalla menegaskan, hasilnya bisa dilihat dari hasil ujian yang diberikan kepada siswa.
"Guru yang dinamis produknya adalah anak cerdas. Itu kenapa pemerintah menyatakan murid harus diuji untuk mengetahui sampai di mana ilmu yang diserap dari guru. Guru harus lebih dinamis dibanding murid," ujarnya disaksikan Dirut Telkom Rinaldi Firmansyah.
(mbs)
JAKARTA - Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla menegaskan, dunia pendidikan membutuhkan tenaga guru yang dinamis yang bisa memberikan pengajaran yang bermutu bagi murid. Jika seorang guru hanya sekadar meluluskan murid dengan nilai rendah, guru bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa.
"Guru itu pejuang tanpa tanda jasa. Tapi ada juga guru yang bukan pejuang, kalau dia hanya berbuat di bawah tanggung jawab, asal mengajar dan menaikkan murid. Guru yang termasuk pahlawan itu kalau berjuang dengan betul," tegas Kalla saat beraudiensi dengan alumni Pelatihan Guru Telkom-Republika di Istana Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu (2/7/2008).
Untuk mengetahui tingkat dinamika guru dalam memberikan ajaran kepada murid, Kalla menegaskan, hasilnya bisa dilihat dari hasil ujian yang diberikan kepada siswa.
"Guru yang dinamis produknya adalah anak cerdas. Itu kenapa pemerintah menyatakan murid harus diuji untuk mengetahui sampai di mana ilmu yang diserap dari guru. Guru harus lebih dinamis dibanding murid," ujarnya disaksikan Dirut Telkom Rinaldi Firmansyah.
Sebaiknya murid harus lebih dinamis dibanding guru....ya nggak??

Rabu, 02 Juli 2008

Belajar jadi pemimpin

Sabda Rasulullah saw. "Sebaik-baik pemimpin kalian ialah yang kalian mencintainya dan dia mencintai kalian. Dia mendoakan kebaikan kalian dan kalian mendoakannya kebaikan. Sejelek-jelek pemimpin kalian ialah yang kalian membencinya dan ia membenci kalian. Kalian mengutuknya dan ia mengutuk kalian."

Kita semua sudah paham, dalam sekumpulan orang, seorang pemimpin harus dipilih.
Dan biasanya orang memilih pemimpin mereka dengan kriteria sang pemimpin adalah orang yang dipandang lebih smart, lebih pintar, lebih mampu, lebih mengetahui, lebih kaya, lebih berkuasa,......lebih cakep, lebih berwibawa, lebih berani, lebih preman,  dll. Artinya sang pemimpin memiliki nilai tambah dibanding anggota kelompok lainnya.
Lalu,
siapa sih sebenarnya pemimpin itu ? 

Siapakah yang disebut pemimpin itu? Pemimpin adalah orang yang diikuti orang lain. Orang lain mau mengikuti si pemimpin karena punya alasan-alasan tertentu. Secara umum, alasan itu antara lain karena si pemimpin itu dipandang lebih mampu, lebih tahu, lebih senior, lebih berkuasa, lebih ahli, lebih bagus, lebih tinggi, dan seterusnya. Artinya, seseorang akan ditunjuk, diangkat, atau dipersilahkan untuk menjadi pemimpin karena dipandang punya nilai "plus".

Ketika seseorang tidak sedang menjadi makhluk individual semata (baca: menjadi makhluk sosial juga), semua orang butuh pemimpin. Seluruh isi rumah tangga butuh pemimpin, teamwork butuh pemimpin, kelompok butuh pemimpin, dan seterusnya. Bahkan ada pengarahan yang menyarankan seperti ini: "Jika engkau sedang menyelesaikan persoalan atau mengemban tugas bersama orang lain (minimalnya satu orang), maka sepakatilah untuk menunjuk seorang pemimpin di antara kamu."

Kenapa ini penting? Dalam prakteknya, cara seperti inilah yang seringkali lebih efektif dan lebih efisien. Dengan menyepakati siapa yang menjadi pemimpin berarti akan lebih jelas siapa yang mengambil keputusan, siapa yang menjalankan keputusan, siapa yang bertanggungjawab atas keputusan itu, dan seterusnya. Tapi, coba bayangkan kalau pemimpinnya tidak ada? Yang sering terjadi adalah kericuhan, gontok-gontokan, debat, konflik, saling ingin mengalahkan, dan seterusnya. Karena itu ada semacam adagium bahwa lebih baik suatu kelompok atau masyarakat itu memiliki pemimpin meskipun pemimpinnya itu bukanlah orang yang serba "lebih" segala-galanya.

Dalam prakteknya, istilah pemimpin ini diterapkan untuk beberapa pengertian. Ada pengertian yang mengarah pada peranan. Pemimpin adalah orang yang memerankan kepemimpinan (nilai-nilai leadership). Menurut pengertian ini, semua orang (laki-laki atau perempuan) adalah pemimpin, minimalnya adalah pemimpin bagi dirinya dan keluarganya. Ada lagi pengertian yang mengarah pada jabatan atau posisi yang kemudian identik dengan istilah-istilah antara lain: atasan, bos, kepala, nahkoda, manajer, direktur, presiden, ketua, dan seterusnya. Ini semua adalah jabatan yang terkait dengan fungsi-fungsi kepemimpinan. Ada lagi istilah pemimpin formal dan pemimpin informal.


Bahkan dalam prakteknya, kita mengenal istilah pemimpin dan pimpinan. Bedanya apa? Sebagian pendapat mengatakan, pemimpin itu tidak butuh SK, tidak butuh partai, tidak mesti butuh bawahan. Pemimpin di sini mengarah kepada kualitas peranan. Sedangkan pimpinan butuh SK, butuh pengangkatan, butuh dukungan, butuh suara, dan seterusnya. Banyak pimpinan yang tidak pemimpin dan banyak pemimpin yang tidak menduduki jabatan pimpinan.

Kalau mengacu pada ajaran agama, temuan sain, dan pengalaman sejumlah pemimpin, yang paling ditekankan adalah kepemimpinan dalam pengertian yang pertama, yakni memerankan nilai-nilai pokok leadership. Bentuknya apa nilai-nilai pokok itu? Bentuknya adalah mempelopori proses untuk mewujudkan keinginan bersama (visi). Suatu kelompok yang tidak ada pemimpinnya seringkali hanya berandai-andai, mengkhayal, ngobrol ngalor-ngidul, takut, sungkan, dan lain-lain. Dengan adanya pemimpin, maka pemimpin inilah yang akan menggerakkan atau mengaktivasikan energi orang banyak itu supaya menjadi kenyataan.

Menurut ajaran leluhur kita, seorang pemimpin itu haruslah memainkan tiga peranan inti. Kalau dia kebetulan di depan, dia harus berperan untuk mengarahkan, menunjukkan jalan, atau menjadi penutan. Kalau dia pas kebetulan di belakang, dia harus berperan mendorong kemajuan, memunculkan inisiatif, atau memberikan tanggung jawab dan delegasi. Kalau pas dia di tengah, dia harus menjadi pendamai, penyeimbang, penyambung komunikasi yang terputus, berada di atas dan untuk semua golongan, dan seterusnya.

Memainkan peranan ini jauh lebih dibutuhkan ketimbang memangku jabatan. Bahkan sampai ada yang menyimpulkan bahwa kepemimpinan itu sejatinya adalah tindakan, bukan jabatan. Lihat saja misalnya orang yang sudah diberi jabatan untuk memimpin tetapi tidak sanggup memainkan peranan sebagai pemimpin, apa yang terjadi? Pasti kepemimpinannya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan mahkota jabatannya akan diambil lagi oleh si pemberi jabatan (orang banyak atau Tuhan) dengan cara yang beragam.

"Leadership is the way of transforming vision into reality."


Berbagai Jurus Memimpin

Dalam berbagai literatur kepemimpinan sering kita temukan istilah art dan science. Istilah ini mengandung pengertian bahwa memimpin orang lain itu butuh pengetahuan tentang teori-teori leadership (science) dan butuh seni dalam mempraktekkan teori-teori itu. Karena itu, pas juga kalau disebut jurus. Jurus ini bermacam-macam dan digunakan atas pertimbangan keadaan tertentu dan harus bisa berubah. Sebagian dari sekian Jurus yang bisa kita jadikan acuan adalah di bawah ini:

Jurus Kepemimpinan
Kompetensi Mental
Yang Dibutuhkan
Iklim
Tujuan
Kapan Jurus Itu
Tepat Diterapkan

Paksaan / Memaksa
Bisa menggerakkan, meng-inisiatif, dan bisa mengontrol-diri
Strongy negative
Tanggapan yang cepat dan langsung (immediate action)
Pada saat krisis atau keadaan mendesak

Menguasai orang lain (otoriter)
Punya kepercayaan-diri, empati, kapasitas untuk mengubah orang lain
Most strongly positive
Memobilisasi orang lain supaya mengikuti
Ketika perubahan baru diinginkan atau butuh visi baru atau arahan baru

Afiliatif

(Menggabungkan)

Bisa menyatukan, manajemen konflik, empati
Highly positive
Menciptakan keharmonisan
Ketika kerenggangan terjadi dalam tim atau mencairkan ketegangan

Demokratik
Bisa mengkolaborasi, komunikasi dan memimpin tim
Highly positive
Membangun komitmen bersama melalui keterlibatan
Ketika butuh membangun kongsi, kebersamaan, kesepakatan, atau untuk mendapatkan masukan

Merumuskan model (pacesetter)
Kesungguhan, bisa menggerakkan, punya inisiatif
Highly negative
Melaksanakan tugas baru atau tugas yang standarnya tinggi
Ketika dibutuhkan hasil yang cepat dan bagus

Membina (coaching)
Bisa mengembangkan orang lain, empati, penguasaan emosi dan pengetahuan-diri
Highly positive
Membangun kekuatan di masa depan
Ketika yang dibutuhkan adalah perbaikan kinerja atau kualitas “SDM� untuk jangka panjang


*) Sumber: An EI-Based Theory of Performance, Daniel Goleman, The Consortium for Research on Emotional Intelligence in Organizations, 2004

Dengan kata lain, yang disebut jurus dalam memimpin itu adalah tindakan tertentu yang kita ambil berdasarkan kapasitas yang kita miliki, berdasarkan keadaan orang yang kita pimpin, dan berdasarkan tujuan utama yang hendak kita wujudkan. Efektivitas dan efisiensi kepemimpinan biasanya akan ditentukan oleh sejauhmana kita bisa menentukan jurus yang sesuai dengan tiga hal itu.

Karena itu, dalam berbagai diskusi tentang leadership, saya kerap mendengar pernyataan atau pendapat bahwa tidak semua yang otoriter itu jelek. Otoriter terkadang dibutuhkan sejauh itu digunakan sebagai jurus (the strategy) pada saat keadaan menuntut perubahan yang cepat dan ketika orang-orang yang kita pimpin itu belum memiliki kesadaran moral yang diakarkan pada nilai-nilai abstrak (kebenaran universal).

Lain soal kalau itu kita terapkan sebagai bawaan (trait). Biasanya, jurus otoriter yang kita terapkan sebagai bawaan bisa menimbulkan hal-hal yang tidak bagus bagi pemimpin dan bagi yang dipimpin. Otoriter yang mulus bisa menghasilkan kediktatoran. Otoriter yang mulus bisa menghasilkan ketakutan terpendam yang suatu saat nanti akan menghasilkan euforia (luapan kegembiraan yang berlebihan) yang ekstrim.

Jadi intinya, semua jurus di atas apabila diterapkan melebihi porsinya atau ekstrim atau berlebihan, biasanya akan menimbulkan deviasi (penyimpangan) yang umumnya negatif. Model kepemimpinan yang membina (coaching) itu baik, tetapi kalau keterlaluan, deviasinya adalah mendekte. Mendelegasikan itu baik, tetapi kalau keterlaluan, deviasinya adalah rentan kecolongan. Cerewet itu terkadang bagus, tetapi kalau berlebihan, deviasinya adalah bikin orang lain tidak nyaman dan kita pusing sendiri.

Syarat apa yang perlu kita penuhi supaya kita tidak berlebihan menerapkan jurus di atas? Syaratnya sebetulnya sederhana dan kita semua sudah tahu namun untuk menerapkannya butuh pembelajaran. Syarat itu adalah menomerduakan keinginan-diri (subyektivitas pribadi, hawa nafsu, egoisme, dll) dan menomersatukan nilai-nilai, dalil pengetahuan, dan petunjuk pengalaman. Jadi, kalau yang kita tunjukkan itu diri kita, deviasi sangat mungkin akan muncul. Tetapi jika yang kita tunjukkan itu adalah komitmen kita pada nilai-nilai yang kita perjuangkan, deviasi itu bisa dikurangi atau diantisipasi.

Karena itu, dalam ajaran agama ada istilah "marah karena Tuhan". Marah seperti ini dikatakan sebagai tanda keimanan. Marah seperti ini bukan artinya kita mengatakan bahwa marah kita gara-gara Tuhan. Kemarahan karena Tuhan adalah kemarahan yang tujuannya adalah tindakan perbaikan, ditujukan kepada orang yang pas, tidak dilandasi nafsu kebencian dan kita sadar kapan kemarahan itu dimulai dan kapan harus diakhiri. Marah karena Tuhan adalah kemarahan yang didasari perjuangan nilai-nilai, pengetahuan dan pengalaman.

Untuk seorang pemimpin, baik itu peranan atau jabatan, marah karena Tuhan dengan pengertian yang sangat logis dan fair itu menjadi sangat dibutuhkan. Bayangkan kalau ada seorang pemimpin yang marahnya karena nafsu (amarah), apa yang terjadi? Tentu bisa merugikan dirinya sendiri dan orang-orag yang dipimpinnya.

"Amarah dan tidak toleran adalah musuh bagi pemahaman yang benar."

(Mohandas Karamchand Gandhi)


Syarat-syarat Memerankan Kepemimpinan

Kalau melihat hukum Tuhannya, kemampuan kita memerankan nilai-nilai kepemimpinan merupakan prinsip dasar kepemimpinan itu. Dikatakan prinsip dasar berarti tidak bisa disiasati atau tidak bisa ditinggalkan. Apa saja prinsip dasar itu? Berikut ini adalah prinsip dasar yang perlu kita jalankan:

Pertama, milikilah nilai-nilai yang kita perjuangkan menurut keadaan kita. Ada banyak kasus yang kerap terjadi dalam kepemimpinan rumah tangga. Kasus itu muncul karena lemahnya peranan kepemimpinan. Misalnya saja ada seorang menantu (suami / istri) yang punya hubungan kurang harmonis dengan mertua. Sepintas kita sepertinya dihadapkan pada dilema yang sulit. Kalau kita memihak ke pasangan, kita akan dicap sebagai orang yang tidak berbakti sama orangtua. Tapi kalau kita memihak ke orangtua, kita akan dicap sebagai orang yang mengorbankan pernikahan demi orangtua. Jadi bagaimana ini?

Jika kita hanya berpikir untuk memihak manusia atau orangnya (mertua, suami-istri, orangtua, dst), maka dilema akan selalu muncul dan masalah serupa akan selalu terulang, pun juga tidak ada solusi yang akan mengangkat kita ke tingkat yang lebih bagus. Tetapi, jika kita berpihak pada nilai-nilai (apa yang baik, apa yang bermanfaat, dan apa yang benar menurut ukuran keluarga kita), maka lambat laun dilema seperti itu akan hilang. Suasana hubungan di keluarga kita pun akan semakin bagus dan pengaruh kepemimpinan kita pun semakin terasa.

Jadi, seorang pemimpin itu dituntut untuk memiliki "pegangan" berupa nilai-nilai yang ia perjuangkan berdasarkan keadaannya. Dengan berpegang teguh pada pegangan itu maka muncullah kharisma. Tentu saja berdasarkan kadar kita. Dengan berpegang teguh pada nilai-nilai itu, maka apapun yang akan kita lakukan, misalnya menegur, mengingatkan atau mendamaikan, itu semua akan di-drive oleh nilai-nilai itu atau "karena Tuhan".

Kedua, menjadi role model atas nilai-nilai yang kita perjuangkan. Seringkali manusia itu memiliki jarak antara apa yang diomongkan dengan dirinya, antara apa yang diopinikan dengan dirinya, antara apa yang ditulis dengan dirinya, antara apa yang pelajari dengan dirinya. Ini semua adalah contoh tidak adanya role model (Integrity).

Seorang pemimpin dituntut untuk menjadi role model atas apa yang ia perjuangkan. Mengambil contoh kasus keluarga di atas, berarti kalau kita berpegang teguh pada nilai-nilai kehormonisan atau kesetaraan, maka kita pun harus menjadi contoh tentang hal ini atau kita sudah menjalankan nilai-nilai itu. Kalau kita berpegang teguh pada kesederhanaan, maka kita pun harus menjalankan kesederhanaan. Kalau kita berpegang teguh pada kasih sayang, maka kita pun harus menjalankan kasih sayang.

Jangan sampai nilai-nilai kebenaran itu kita ucapkan tetapi itu semua kita alamatkan kepada orang lain semata. "Nilai-nilai itu for you, not for me." Jika ini yang terjadi, kepemimpinan kita akan lemah. Kepemimpinan yang lemah kurang bisa memberikan solusi dan kurang bisa menekan masalah.

Ketiga, mengembangkan kapasitas personal untuk menjadi yang lebih baik. Kapasitas personal yang perlu kita kembangkan itu antara lain adalah kapasitas intelektual (pengetahuan, pengalaman, keahlian, cara berpikir, dst), kapasitas emosional (memperlakukan orang, kontrol-diri, berkomunikasi, dst), kapasitas spiritual (ketaatan, kejelasan visi hidup, dorongan berubah ke arah yang lebih bagus, dst).

Kenapa pengembangan kapasitas personal ini menjadi prinsip? Ini terkait dengan orang-orang yang kita pimpin. Pemimpin yang disiplinnya lemah tidak bisa menggerakkan orang-orang malas. Pemimpin yang emosinya masih kacau kurang bisa mendamaikan orang-orang yang sedang bertengkar. Pemimpin yang masih punya keberpihakan besar pada manusia tidak bisa mengajak orang lain untuk berpihak pada nilai. Pemimpin yang tidak memiliki komitmen untuk belajar tidak bisa menggerakkan orang lain untuk belajar. Intinya, pengembangan kapasitas personal itu haruslah selalu kita lakukan. Tentu saja berdasarkan keadaan kita dan orang-orang yang kita pimpin. Tanpa ini, kepemimpinan kita akan lumpuh.

Keempat, dahulukan pengaruh sebelum power. Pengaruh itu biasanya dihasilkan dari kualitas "SDM" kita. Pengaruh itu dihasilkan dari komitmen kita dalam menjalankan prinsip 1, 2, dan 3. Seringkali pengaruh itu tidak bisa diciptakan dengan rekayasa, tetapi tercipta sendiri karena proses. Sedangkan power itu adalah kekuatan yang biasanya diciptakan oleh sistem, kekuatan formal, atau hasil dari apa yang kita lakukan (misalnya power, jabatan, kekayaan, keahlian, dst).

Kenapa kita perlu mendahulukan penggunaan pengaruh (influence) sebelum power? Biasanya, ini lebih efektif, efisien, dan lebih "mendekatkan" atau lebih "menyadarkan". Misalnya saja kita ingin memotivasi seseorang agar lebih memperbaiki kinerjanya. Sebelum kita menggunakan jabatan, sangat disarankan kita menggunakan pendekatan personal. Tetapi jika tidak mempan juga, ya apa boleh buat?

Kelima, mengetahui kapan mendengarkan, kapan berbicara, dan kapan mengambil keputusan. Ini sangat penting untuk mengatasi dinamika keadaan yang terus berubah. Kalau kita banyak bicara padahal yang dituntut adalah mendengarkan, ini juga kurang. Kalau kita lebih banyak mendengarkan padahal yang dituntut adalah berbicara, ini juga kurang. Kalau kita hanya bicara dan mendengarkan padahal yang dituntut adalah mengambil keputusan, ini juga kurang. Intinya, sebelum memimpin orang lain, entah peranan atau jabatan, syarat yang harus kita penuhi adalah memimpin diri sendiri. Tidak mungkin kita bisa menjalankan prinsip-prinsip dasar kepemimpinan itu tanpa kemampuan dalam memimpin diri sendiri.

"Tidak ada orang yang bisa memimpin orang lain
sebelum dapat memimpin dirinya."
(William Penn)

Selasa, 29 April 2008

Tahu Diri

Tahu Diri Itu Proses!
Istilah tahu diri ini memang kalimatnya mudah dan sederhana. Tetapi terus terang saja sulit dijelaskan seperti apa detail-nya. Sama seperti istilah orang baik. Kalimatnya sederhana dan mudah diucapkan oleh siapa saja, tetapi seperti apa orang baik itu bisa dibeberkan, tentu ini sulit. Sama juga istilah kehidupan yang baik dalam agama. Orang yang langkahnya baik dan punya amal perbuatan baik pada orang lain akan diberi hadiah berupa kehidupan yang baik yang menyedapkan pandangan mata. Meskipun tidak bisa dijelasan detailnya, tetapi perasaan kita sudah tahu itu.

Kenapa istilah tahu diri itu susah didetailkan? Salah satu sumber kesulitan itu adalah karena cakupannya yang sangat luas. Kalau dilihat dari penggunaannya sehari-hari, pengertian tahu diri dalam agama itu berbeda dengan tahu diri dalam ilmu pengetahuan (khususnya SDM atau Psikologi). Beda lagi dengan yang sering kita gunakan dalam pergaulan sehari-hari. Kalau kita minta sesuatu ke teman atau kenalan, lalu kita masih milih juga atau menuntut yang lebih baik lagi, ini namanya tidak tahu diri. Sudah minta nyuruh pula. Tahu diri di sini diartikan sebagai sikap atau prilaku yang "sensitive" menempatkan posisi orang lain dan posisi diri sendiri di tempatnya masing-masing.

Seorang pengusaha pernah mengatakan karyawannya yang bernama si A itu tidak tahu diri. Dulu dia pengangguran lalu diterima sebagai pegawai. Setelah tahu seluk beluk bagaimana menjalankan bisnis di kantor itu, eee malah pamit tidak bilang-bilang, plus membajak anak buahnya yang terampil dan membikin bisnis saingannya. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah menolong harimau yang sedang terjepit. Harimau yang kita tolong itu malah menerkam kita.

Tahu diri juga sering kita gunakan untuk menjelaskan prilaku seseorang yang tahu "diuntung". Lawannya adalah orang yang tidak tahu diuntung. Ini seperti yang dialami Ibu S yang saya saksikan dalam tayangan tivi. Dengan niat baiknya, Ibu ini ingin membesarkan salah satu anak jalanan yang sering mangkal di dekat kantornya. Kenangnya, anak itu kelihatan masih bersih, lugu, dan tidak tahu siapa orangtuanya. Tapi setelah besar, si anak yang dulu diasuhnya dengan susah-payah itu malah berbalik menjadi duri di dalam rumah tangganya. Si anak dibilang tidak tahu diri. Saking kesalnya, Ibu S berteriak dengan maksud berbagi pengalaman kepada masyarakat. "Jangan mengambil anak sembarangan atau karena kasihan. Mungkin saja dia bukan keturunan orang baik-baik."

Dalam agama, istilah tahu diri itu sering digunakan untuk menjelaskan sikap yang tidak sombong. Kesombongan seperti apa yang dimaksudkan? Kesombongan di sini maksudnya adalah menolak kebenaran dan merendahkan sesama manusia (arogan). Kalau kita sudah tahu kebenaran tetapi kita menolaknya karena kebenaran-egoisme milik kita, namanya kesombongan. Begitu juga kalau kita sudah merasa "lebih" dari orang lain lalu perasaan itu kita gunakan untuk merendahkan mereka, namanya kesombongan. Kesombongan identik dengan ketidaktahun-diri.

Nah, dalam konsep dan praktek pengembangan SDM, tahu diri itu punya pengertian yang lain lagi. Tahu diri di sini diartikan sebagai bentuk kemampuan seseorang dalam mengetahui kelebihan dan kekurangannya lalu menggunakan semua itu untuk meraih prestasi di bidang-bidang yang dipilih. Tahu diri juga digunakan untuk menjelaskan kemampuan seseorang dalam memahami peluang untuk maju atau kemampuan seseorang dalam memahami masalah yang menghambat langkahnya. Tahu diri di sini mengarah pada pengertian pengetahuan-diri (self-knowledge).

Jadi, secara keseluruhan, tahu diri sini terkait dengan sejauhmana seseorang itu mampu mengaktifkan kapasitas intelektual, emosional, dan spiritualnya secara proporsional sehingga mampu memahami etika kepatutan, mampu menerapkan ajaran moral, dan mampu menjalankan agenda aktualisasi potensi-diri. Tentu saja, karena ini luas cakupannya, maka tidak ada orang yang punya pengetahuan-diri sampai ke tingkat yang sempurna dan sudah final. Pengetahuan-diri adalah proses yang terus dinamis sampai kita meninggal.

"Kau kira dunia di luar dirimu itu luas, padahal dunia di dalam dirimu itu jauh lebih luas." (Ali Bin Abu Thalib)


Intrapersonal Skill
Teori pengembangan SDM industri mengenal istilah intrapersonal skill yang kerap digunakan untuk menjelaskan apa itu pengetahuan-diri (self-knowledge). Disebut skill berarti itu adalah hasil yang didapat berdasarkan pencapaian individu (achieved). Meskipun ada juga yang menyebutnya dengan intrapersonal intelligence, namun maksud intelligence di situ bukan kecerdasan bawaan, melainkan hasil pemberdayaan (new construct). Ada yang menyebutnya juga sebagai cara belajar yang paling pas untuk individu, the way the people can learn best.

Apa itu intrapersonal? Menurut Howard Gardner (Frames of Mind: 1983), intrapersonal (skill / intelligence) adalah sensitivitas seseorang terhadap perasaannya, keinginannya, pengalaman hidupnya atau sensitivitasnya terhadap "hal-hal" yang mengancam dirinya. Sensitivitas di sini maksudnya lebih dekat pada pengertian sejauhmana orang itu mengetahui, menyadari dan bisa menggunakan "hal-hal" tersebut sebagai bahan pembelajaran-diri. Termasuk dalam pengertian ini adalah kesadaran seseorang terhadap kekuatan, kelemahan, rencana, dan tujuannya. Semakin bagus skill seseorang di beberapa hal ini kira-kira akan semakin akuratlah pengetahuannya.

Sama seperti Howard Gardner, Microsoft Education menjelaskan bahwa yang disebut intrapersonal itu adalah kesadaran seseorang terhadap bakat, kemampuan, peluang, kekuatan, keterbatasan dan kelemahannya. Bedanya, Microsoft punya penyekalaan. Alasannya, semua orang sedikit-banyaknya punya pengetahuan tentang dirinya, tetapi yang berbeda adalah levelnya. Soal level ini penjelasannya sebagai berikut:
LEVEL
INDIKATOR UMUM




Level 1
Anda baru mengetahui bakat, kemampuan, peluang, kekuatan, keterbatasan dan kelemahan anda.

Level 2
Anda menyadari bakat, kemampuan, peluang, kekuatan, keterbatasan dan kelemahan anda. Anda bisa memperkirakan berbagai bentuk kemampuan / kelemahan yang paling mungkin, dan bisa mensinergikannya dengan orang lain pada momen yang tepat. Anda melakukan proses pembelajaran untuk meningkatkan skill atau pengetahuan anda.

Level 3
Anda sudah mengidentifikasi motif, harapan, kecenderungan, keinginan, dan kebutuhan secara akurat. Anda sudah punya gambaran yang jelas tentang diri anda (kemampuan, kelebihan atau bakat anda). Anda berusaha menggali feedback dengan berkreasi, terbuka terhadap kritik, terbuka menerima masukan perbaikan. Anda sudah bisa mendeklarasikan kelebihan dan kelemahan anda secara fair. Anda sudah bisa menghindari penudingan (blaming) atas apa yang menimpa anda atau kesalahan anda.

Level 4
Anda sudah bisa mengajari / membimbing orang lain untuk menemukan dan menggali potensi mereka.


Bagi banyak orang, memang standar yang ditetapkan Microsof itu terasa ketinggian. Maklum saja. Mungkin itu bukan untuk umum, tetapi untuk karyawan mereka. Sebab, kalau kita melihat ke masyarakat umum, banyak orang yang tidak tahu kelebihannya atau merasa tidak punya kelebihan apa-apa. Mereka hanya mengetahui kelemahan atau kekurangannya. Kata Robbin S. Sharma, kebanyakan orang sudah mati begitu usianya masuk duapuluh tahun dan baru dikebumikan nanti ketika usianya sudah di atas enam puluh tahun. Mati di sini sudah tahu dong apa maksudnya. Kalau kita sampai gagal mengungkap apa kelebihan dan keunggulan kita, itu sama saja kita mati dalam tanda kutip.

Ada lagi yang sudah tahu tetapi tidak mau dan tidak mampu menggunakannya. Misalnya saja tidak memiliki komitmen, fokus, dan semangat belajar (learning). Atau juga lebih mengarahkan fokus pikirannya pada masalah, bukan pada peluang atau tujuan. Ada lagi yang angot-angotan atau tidak jelas. Punya banyak keinginan tetapi usahanya minim. Menurut Jenderal Soemitro, kehebatan Pak Harto (sebagai pribadi) itu adalah keinginannya yang sederhana dan perjuangannya yang luar biasa.

Ada lagi yang sudah tahu dan sudah menggunakannya, tetapi cara yang ditempuh, tujuan yang ingin diraih, atau motif yang menggerakkannya negatif. Jadilah dia orang yang hebat tetapi kehebatannya itu menelan korban (merugikan atau mencelakakan orang banyak). Ada lagi yang menggunakannya untuk kepentingan diri sendiri. Sejauh itu proporsional tentu masih bisa dibilang cukup baik, namun tentu belum sampai ke yang terbaik.

Nah, yang perlu kita jadikan acuan adalah: kita mengeksplorasi berbagai kelebihan, menggunakannya untuk merealisasikan target positif, menempuh cara yang benar atau tidak melanggar, dan tidak semata-mata kita niati untuk kepentingan diri sendiri. Jadi, sasaran idealnya adalah beraktualisasi untuk berkontribusi. Kalau kita hanya beraktualisasi, memang sudah baik namun belumlah yang terbaik. Sebaliknya, kalau kita ingin berkontribusi tetapi tidak beraktualisasi, ini tidak realistis juga atau tidak tahu diri.



Refleksi Lima Kelompok Manusia *
Manusia yang tidak tahu atau tidak mau tahu apa kelebihan dan apa keinginannya. Mereka menginginkan agar orang lain atau Tuhan menghendaki sesuatu untuk dirinya. Mereka ini termasuk pecundang yang kalah.
Manusia yang tahu dan mau tahu tetapi tidak tahu atau tidak mau tahu cara yang harus ditempuh. Mereka ini termasuk orang yang frustasi
Manusia yang sudah tahu dan tahu cara yang harus ditempuh tetapi ujung-ujungnya tidak mau melakukan. Mereka ini termasuk yang merugi
Manusia yang sudah tahu kelebihan dan keinginannya, tahu cara untuk mendapatkannya, dan sudah menggunakan cara itu, tetapi semangatnya setengah-setengah. Mereka ini termasuk pemalas
Manusia yang sudah tahu, tahu cara untuk mendapatkannya, dan sudah menggunakan cara dengan semangat yang tinggi atau selalu berusaha untuk membuat semangatnya menyala terus. Mereka ini termasuk orang yang beruntung.

*) Dari berbagai sumber




"Peranan Anda lebih menentukan ketimbang kecerdasan yang Anda miliki"
Howard Gardner


Lima Acuan
Sebetulnya ada acuan yang lebih lengkap mengenai pengetahuan-diri itu. Ini bisa kita lihat di The Bar-on Model of Emotion-Social Intelligence (2000). Pengetahuan-diri di sini punya cakupan sebagai berikut:

Self-Regard: punya persepsi, punya pemahaman, dan punya penerimaan yang akurat. Tanda-tandanya adalah tidak minder dan tidak over; tidak rendah-diri dan tidak pula tinggi hati; tidak inferior dan tidak superior.
Emotion Self-Awareness: punya kesadaran terhadap berbagai emosi yang muncul di dalam dirinya. Tanda-tandanya adalah punya kemampuan dalam menangani stress atau menggunakannya untuk hal-hal positif, tidak menanggapi secara berlebihan (reaktif) terhadap kesenangan atau kesedihan, tetap bisa fokus pada hal-hal positif di tengah kekacauan atau kemapanan.
Assertiveness: punya kemampuan mengekspresikan perasaan secara konstruktif dan efektif. Tanda-tandanya adalah mampu memikirkan dan memilih kalimat atau ungkapan yang bagus dan kuat dalam berkomunikasi atau mengkomonikasikan sesuatu kepada orang lain.
Independence: punya kematangan dan keberlimpahan emosi, bahagia pada dirinya (self-worth) atau punya kemandirian mental (pede). Tanda-tandanya adalah tidak mudah tertusuk perasaannya oleh orang lain, tidak mudah merasa merana, rasional dalam menyelesaikan persoalan, tidak mudah terbuai oleh hal-hal yang menipu, atau punya locus of control ke internal.
Self-Actualization: punya tujuan yang terus direalisasikan dengan mengembangkan potensinya. Tanda-tandanya adalah memiliki langkah hidup yang dinamis (bergerak menuju ke yang lebih bagus, lebih tinggi, lebih besar, lebih mendalam, lebih bermanfaat, dst), punya kemauan belajar, berani bereksperimentasi ide-ide baru, tetap memiliki perhitungan, membutuhkan orang lain namun tidak mengandalkan mereka.

"Orang yang mengetahui banyak hal, tetapi kurang mengetahui dirinya,
pengetahuan yang banyak itu tidak bisa memberikan manfaat yang banyak."
(Petuah Bijak)


Sumber : e - psikologi.

Jumat, 11 April 2008

Soal ...apa soal...???

Untuk adik2 SD yang baru test masuk ke SMP, ngga ada salahnya melihat kembali soal2 yang sudah dikerjakan. Kerjakan dan cek apakah jawabanmu benar atau salah. Jika ada kesulitan boleh menghubungi kami di sini.


Sabtu, 29 Maret 2008

Jumat, 28 Maret 2008