Lets start to learn everything

Selasa, 04 November 2008

Belajar dari Qaryah Thayyibah, Pendidikan Alternatif yang Membebaskan

Tadi pagi, ada seorang pejabat sekolah, bergumam; " kita seharusnya bersyukur telah berhasil membangun gedung sekolah tingkat 3...bla bla bla...."  Sepertinya beliau menikmati benar akan keberadaan gedung sekolah yang megah, yang telah berhasil didirikan dengan susah payah, dengan dana yang tidak sedikit serta pengorbanan waktu serta moril yang amat menggunung. Sungguh memang keberhasilan yang patut diacungkan jempol. Tinggal kita selaraskan saja fasilitas yang amat memadai ini dengan program pendidikan yang harus segera dilaksanakan setiap detik untuk anak didik, maksudnya siswa-siswanya..
Sekarang kita tengok kondisi nun jauh di sebuah desa, ada cerita sudah agak lama tapi esensinya baru tersingkap- bila kita hanya memikirkan tentang fasilitas yang teramat megah yang sudah kita miliki. Coba simak ya....



Sekolah Global di Desa Kecil Kalibening
FINA Af'idatussofa (14) bukan siswa sekolah internasional dan bukan anak orang berada. Ia lahir sebagai anak petani di Desa Kalibening, tiga kilometer perjalanan arah selatan dari kota Salatiga menuju Kedungombo, Jawa Tengah. Karena orangtuanya tidak mampu, ia terpaksa melanjutkan sekolah di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah di desanya. Namun, dalam soal kemampuan Fina boleh dipertandingkan dengan siswa sekolah-sekolah mahal yang kini menjamur di Jakarta.
MESKI bersekolah di desa dan menumpang di rumah kepala sekolahnya, bagi Fina internet bukan hal yang asing. Ia bisa mengakses internet kapan saja. Setiap pagi berlatih bahasa Inggris dalam English Morning. Ia pernah menjuarai penulisan artikel on line di kotanya. Ia juga berbakat dalam olah vokal meski ia mengatakan tidak ingin menjadi seorang penyanyi.

"Kalau menjadi penyanyi, pekerjaanku hanya menyanyi. Padahal, cita-citaku banyak. Aku ingin jadi presenter, aku ingin jadi penulis, pengarang lagu, ilmuwan, dan banyak lagi? Aku juga ingin berkeliling dunia," kata Fina.


SMP Alternatif Qaryah Thayyibah resmi terdaftar sebagai SMP Terbuka, sekolah yang sering diasosiasikan sebagai sekolah untuk menampung orang-orang miskin agar bisa mengikuti program wajib belajar sembilan tahun. Namun, siswa SMP Alternatif Qaryah Thayyibah sangat mencintai dan bangga dengan sekolahnya.

Pukul 06.00 sekolah sudah mulai dan baru berakhir pada pukul 13.30. Akan tetapi, jam sekolah itu terasa sangat pendek bagi murid-murid sekolah tersebut sehingga setelah makan siang mereka biasanya kembali lagi ke sekolah. Mereka belajar sambil bermain di sekolahnya sampai malam, bahkan tak jarang mereka menginap di sekolah.

Murid-murid SMP Qaryah Thayyibah memang sangat menikmati sekolahnya. Bersekolah merupakan sesuatu yang menyenangkan. Guru bukanlah penguasa otoriter di kelas, tetapi teman belajar. Mereka bebas berbicara dengan gurunya dalam bahasa Jawa ngoko, strata bahasa yang hanya pantas untuk berbicara informal dengan kawan akrab.

Di kelas mereka juga sangat bebas. Mereka bisa asyik mengerjakan soal-soal matematika dengan bersenda gurau, ada yang mengerjakan soal sambil bersenandung, yang lain bermain monopoli. Suasana bermain itu bahkan di taman kanak-kanak pun kini makin langka karena mereka dipaksa oleh gurunya untuk membaca dan menulis.

SMP Qaryah Thayyibah lahir dari keprihatinan Bahruddin melihat pendidikan di Tanah Air yang makin bobrok dan semakin mahal. Pada pertengahan tahun 2003 anak pertamanya, Hilmy, akan masuk SMP. Hilmy telah mendapatkan tempat di salah satu SMP favorit di Salatiga. Namun, Bahruddin terusik dengan anak-anak petani lainnya yang tidak mampu membayar uang masuk SMP negeri yang saat itu telah mencapai Rp 750.000, uang sekolah rata-rata Rp 35.000 per bulan, belum lagi uang seragam dan uang buku yang jumlahnya mencapai ratusan ribu rupiah.

"Saya mungkin mampu, tetapi bagaimana dengan orang-orang lain?" tuturnya. Bahruddin yang menjadi ketua rukun wilayah di kampungnya kemudian berinisiatif mengumpulkan warganya menawarkan gagasan, bagaimana jika mereka membuat sekolah sendiri dengan mendirikan SMP alternatif. Dari 30 tetangga yang dikumpulkan, 12 orang berani memasukkan anaknya ke sekolah coba-coba itu. Untuk menunjukkan keseriusannya, Bahruddin juga memasukkan Hilmy ke sekolah yang diangan-angankannya.

"Saya ingin membuat sekolah yang murah, tetapi berkualitas. Saya tidak berpikir saya akan bisa melahirkan anak yang hebat-hebat. Yang penting mereka bisa bersekolah," kata Bahruddin.

Bahruddin mengadopsi kurikulum SMP reguler di sekolahnya. Ia menyatakan tidak sanggup menyusun kurikulum sendiri. Lagi pula sekolah akan diakui sebagai sekolah berkualitas jika bisa memperoleh nilai yang baik dan mendapatkan ijazah yang diakui pemerintah. Karena itulah ia memilih format SMP Terbuka. Akan tetapi, ia mengubah kecenderungan SMP Terbuka sekadar sebagai lembaga untuk membagi-bagi ijazah dengan mengelola pendidikannya secara serius.


Sekolah itu menempati dua ruangan di rumah Bahruddin, yang sebelumnya digunakan untuk Sekretariat Organisasi Tani Qaryah Thayyibah. Jumlah guru yang mengajar sembilan orang, semuanya lulusan institut agama Islam negeri dan sebagian besar di antaranya para aktivis petani.

Guru pelajaran Matematika-nya seorang lulusan SMA yang kini mondok di pesantren. Akses internet gratis 24 jam diperoleh dari seorang pengusaha internet di Salatiga yang tertarik dengan gagasan Bahruddin. Dengan modal seadanya sekolah itu berjalan.


Ternyata pengakuan terhadap keberadaan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah tidak perlu waktu lama. Nilai rata- rata ulangan murid SMP Qaryah Thayyibah jauh lebih baik daripada nilai rata-rata sekolah induknya, terutama untuk mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris.

Sekolah itu juga tampil meyakinkan, mengimbangi sekolah-sekolah negeri dalam lomba cerdas cermat penguasaan materi pelajaran di Salatiga. Sekolah itu juga mewakili Salatiga dalam lomba motivasi belajar mandiri di tingkat provinsi, dikirim mewakili Salatiga untuk hadir dalam Konvensi Lingkungan Hidup Pemuda Asia Pasifik di Surabaya. Pada tes kenaikan kelas satu, nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Inggris siswa Qaryah Thayyibah mencapai 8,86.


SMP Alternatif Qaryah Thayyibah juga maju dalam berkesenian. Di bawah bimbingan guru musik, Soedjono, anak-anak sekolah bergabung dalam grup musik Suara Lintang. Kebolehan anak-anak itu dalam menyanyikan lagu mars dan himne sekolah dalam versi bahasa Inggris dan Indonesia bisa didengarkan ketika membuka alamat situs sekolah www.pendidikansalatiga.net/qaryah. Grup musik anak-anak desa kecil itu telah mendokumentasikan lagu tradisional anak dalam kaset, MP3, maupun video CD album Tembang Dolanan Tempo Doeloe yang diproduksi sekaligus untuk pencarian dana. Seluruh siswa bisa bermain gitar, yang menjadi keterampilan wajib di sekolah itu.


Sulit dibayangkan anak- anak petani sederhana itu masing-masing memiliki sebuah komputer, gitar, sepasang kamus bahasa Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris, satu paket pelajaran Bahasa Inggris BBC di rumahnya. Semua itu tidak digratiskan. Anak-anak memiliki semua itu dengan mengelola uang saku bersama-sama sebesar Rp 3.000 yang diterima anak dari orangtuanya setiap hari. Uang sebesar Rp 1.000 dipergunakan untuk mengangsur pembelian komputer. Untuk sarapan pagi, minum susu, madu, dan makanan kecil tiap hari Rp 1.000, sedangkan Rp 1.000 lainnya untuk ditabung di sekolah. Tabungan sekolah itu dikembalikan untuk keperluan murid dalam bentuk gitar, kamus, dan lain-lainnya.

Tidak mengherankan jika anak-anak dan orangtua mereka bangga dengan sekolah itu. Betapa tidak, di sekolah yang berdekatan dengan rumah di sebuah desa kecil mereka mendapatkan banyak hal yang tidak diperoleh di sekolah-sekolah yang dikelola dengan logika dagang.

Ismanto (43) menceritakan, anaknya sempat down saat mendaftar SLTP di Salatiga dua tahun lalu. Uang masuknya Rp 200.000, belum termasuk buku dan seragam. Tidak ada seorang murid pun ke sekolah dengan berjalan kaki selain anaknya, Emi Zubaiti (13). Kini Emi menjadi seorang anak yang pandai dalam berbagai mata pelajaran, pintar bernyanyi, dan percaya diri. Ia tidak pernah membayangkan bisa menyekolahkan Emi, anak pasangan tukang reparasi sofa dan bakul jamu gendong, mendapat sekolah yang baik.

Bahkan Ismanto ikut menikmati komputer yang dikredit dari uang saku anaknya. Dibimbing anaknya, sekarang Ismanto mulai belajar komputer. "Tidak pernah terpikir, saya bisa membelikan komputer. Kini saya malah bisa ikut menikmati," kata Ismanto.

Senin, 03 November 2008

Wawancara Surya Dharma, MPA, PhD, Direktur Tenaga Kependidikan Depdiknas: Memberi Nilai Tambah Rintisan SBI


Wawancara Surya Dharma, MPA, PhD, Direktur Tenaga Kependidikan Depdiknas: Memberi Nilai Tambah Rintisan SBI

Oleh: Saiful Anam/Pen
Kemampuan bahasa Inggris kepala sekolahnya rendah: separuhnya di bawah tingkat elementary, hanya 10% benar-benar mampu berbahasa Inggris dengan baik. Mengguyur block grant untuk kepala sekolah dan mengirim studi ke luar negeri.
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, telah menetapkan 260 sekolah sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (R-SBI). Sesuai namanya, statusnya masih sebatas rintisan, belum definitif SBI. Diharapkan, sekolah-sekolah tersebut berhasil melepaskan predikat rintisannya dan menjadi SBI sungguhan pada tahun 2009.

Tetapi, untuk menuju ke sana, tantangan berat menghadangnya. Salah satunya adalah kesiapaan kualitas pendidik dan tenaga kependidikannya, termasuk di dalamnya kepala sekolah. Tugas untuk meningkatkan mutu kepala sekolah R-SBI itu menjadi tanggungjawab Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK), Departemen Pendidikan Nasional. Bagaimana kondisi mutu kepala sekolah R-SBI dewasa ini? Apa saja program yang dilakukan Direktorat Tenaga Kependidikan untuk meningkatkan mutu mereka? Berikut wawancara Saiful Anam dari Penapendidikan dengan Surya Dharma, MPA, Ph.D, Direktur Tenaga Kependidikan.


Sekolah Bertaraf Internasional merupakan salah satu program Departemen Pendidikan Nasional untuk meningkatkan mutu sekolah. Ditjen Manajemen Dikdasmen telah menetapkan 260 sekolah rintisan SBI. Terkait kesiapan sumber daya manusianya, bagaimana Anda melihatnya?
SBI merupakan salah satu program Depdiknas yang cukup berat untuk direalisasikan. Ditjen Mandikdasmen telah menetapkan 260 sekolah rintisan SBI, terdiri dari 100 SMP, 100 SMA, dan 60 SMK. Kalau indikatornya pada aspek fisik memang relatif mudah mengukurnya. Tinggal membangun atau merehab sekolahnya menjadi bagus, melengkapi laboratorium, perpustakaan, ruangannya ber-AC, ada kolam renang, bukunya sangat lengkap, dan lain-lain.
Tetapi, yang namanya SBI kan bukan sekadar itu. Kesiapan sumber daya manusia (SDM)-nya jauh lebih penting. Kesiapan SDM sekolah itu akan mempengaruhi kualitas proses pembelajaran, iklim sekolah, budaya sekolah, prestasi belajar siswa, dan lain-lain. Apalagi, kalau rintisan SBI itu nanti ternyata sebagian tidak berhasil menjadi SBI sungguhan, yang paling mudah disalahkan kan manusianya, yaitu kepala sekolah dan guru-gurunya. Karena itu, menyiapkan kepala sekolah dan guru-gurunya itu jauh lebih ber
at dibanding melengkapi sarana dan prasarananya.

Sebagai sekolah berlabel rintisan SBI, idealnya kepala sekolahnya harus mahir berbahasa Inggris. Bagaimana menurut Anda?
Saya setuju, dan kami sudah melakukan pemetaan terhadap kemampuan berbahasa Inggris mereka. Ini salah satu program yang kami lakukan pada tahun 2007. Masyarakat kan tidak tahu peta R-SBI itu seperti apa. Tapi dengan tes bahasa Inggris yang kami lakukan dengan TOEIC (Test of English for International Communication), sekarang hasilnya sudah ketahuan dan membuat kita prihatin.
Bayangkan, dari 260 kepala sekolah yang kita tes bahasa Inggrisnya, sekitar 50% nilainya di bawah 245. Atau, tingkat kemampuannya berada pada tingkat di bawah elementary. Hanya sekitar 10% yang benar-benar mampu berbahasa Inggris dengan baik. Itu pun karena kebanyakan mereka berlatarbelakang sarjana pendidikan bahasa Inggris. Inilah fakta yang kita temukan di lapangan, tidak usah kita tutup-tutupi. Justru tantangan kita ke depan adalah bagaimana meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka. Namanya saja SBI, kalau kemampuan bahasa Inggris kepala sekolahnya kacau kan tidak lucu.
Kalau salah satu kriteria SBI adalah kepala sekolahnya harus mempunyai kemampuan bahasa Inggris yang memadai, kan masih jauh. Karena itu, kalau kita berharap tahun 2009 rintisan SBI nanti benar-benar menjadi SBI, tentu ini pekerjaan berat.


Lantas apa yang akan Anda lakukan untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka?
Kita akan melakukan treatment untuk memperbaiki kemampuan bahasa Inggris mereka. TOEIC sudah punya program atau materi-materi pembelajaran bahasa Inggris yang bisa dipelajari sendiri oleh kepala sekolah. Lebih bagus lagi kalau kepala sekolah punya inisiatif untuk mengikuti kursus, dengan syarat jangan sampai menelantarkan tugas pokoknya sebagai kepala sekolah.


Kalau kepala sekolahnya saja kemampuan bahasa Inggrisnya seperti itu, bagaimana dengan guru-gurunya?
Iya, itu juga pekerjaan berat. Sesuai buku panduan SBI, pengajaran matematika dan IPA harus menggunakan bilingual, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Persoalannya, apa betul guru-guru matematika dan IPA di R-SBI itu memiliki kemampuan bahasa Inggris yang memadai. Jangan-jangan mereka malah stres. Oleh karena itu, ini menjadi tantangan berat kita ke depan untuk merealisasikan SBI, yaitu menyiapkan SDM-nya.

Selain kemampuan berbahasa Inggris, indikator apa lagi yang bisa digunakan dengan mudah untuk mengetahui kemampuan SDM di R-SBI?
Bisa juga kemampuan teknologi informasi (IT)-nya. Sebagai perbandingan, di Turki setiap guru punya satu laptop. Di sekolah-sekolah rintisan SBI kalau kepala sekolahnya bisa mengoperasikan komputer dengan baik saja sudah bagus. Kemampuan IT mereka memang belum kita petakan. Bisa saja nanti kami lakukan pada tahun 2008.

Di samping melakukan pemetaan terhadap kemampuan bahasa Inggris para kepala sekolah R-SBI, program-program apa lagi yang Anda lakukan untuk meningkatkan mutu mereka?

Kami telah menyalurkan dana block grant ke mereka masing-masing Rp 100 juta. Dana itu diharapkan mampu menggairahkan mereka untuk meningkatkan kualitasnya.
Selain itu, kami juga mengirim mereka belajar ke luar negeri, yaitu ke Turki, Malaysia, dan Singapura. Mereka belajar di tiga negara itu sekitar dua pekan. Ada 100 kepala sekolah yang kita kirim ke National Insitute of Education (NIE) di Singapura, November lalu. Mereka terdiri dari 75 kepala SMA dan 25 kepala SMP. Sekitar 75 kepala sekolah juga kita kirim ke Malaysia.
Kami juga mengirim 50 kepala sekolah ke Turki, dan kebetulan saya sendiri yang mendampingi. Pengiriman kepala sekolah ke Turki itu juga atas saran Pak Menteri sebagai bagian dari rencana penandatanganan kerjasama peningkatan mutu pendidikan antara Turki dan Indonesia.
Selama melakukan kunjungan ke Turki, mereka antara lain mengikuti kegiatan seminar enam hari. Saya tongkrongi terus mereka selama mengikuti seminar itu, yang membahas tentang sistem pendidikan di Turki, kurikulumnya, sistem pembelajarannya, sistem pengawasan sekolah, dan upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan mutu guru dan kepala sekolah. Sayangnya, dari 50 kepala sekolah yang kita kirim ke sana, hanya dua orang yang bisa bahasa Inggris dengan baik.
Manfaat apa saja yang diharapkan dari pengiriman kepala sekolah R-SBI ke tiga negara itu?
Paling tidak ada tiga hal. Pertama, meningkatkan rasa percaya diri. Dengan melihat langsung penyelenggaraan pendidikan di negara-negara tersebut, diharapkan mereka menjadi lebih percaya diri dan termotivasi untuk meningkatkan mutu sekolahnya agar bisa bersaing dengan sekolah-sekolah berkelas dunia.
Kedua, mengambil sisi-sisi positif dari kegiatan pembelajaran. Di Turki, misalnya, para kepala sekolah melihat sendiri pelaksanaan pembelajaran di sana, melihat langsung kegiatan moving class, aktivitas organisasi semacam MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) dan MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), dan lain-lain. Mereka juga melihat, setelah jam pelajaran sekolah usai, guru-guru di sana masih tinggal di sekolah sampai sore untuk mendiskusikan persoalan-persoalan yang muncul pada hari itu.
Ketiga, meningkatkan hubungan kerjasama antara sekolah dengan masyarakat. Turki merupakan contoh sangat baik tentang kedekatan hubungan antara sekolah dengan orangtua siswa dan masyarakat sekitar sekolah. Bahkan sekolah menyediakan kamera monitor yang bisa diakses oleh orangtua siswa dari rumahnya. Orangtua di rumah bisa tahu anaknya di sekolah sedang melakukan kegiatan apa, di dalam kelas aktif atau tidak, dan lain-lain. Jadi orangtua ikut mengawasi jalannya kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, guru juga tidak bisa berbuat macam-macam. Dan guru-guru di sana memperlakukan siswa-siswanya dengan sangat baik.
Pengiriman kepala sekolah ke tiga negara itu sangat penting karena kita menyadari bahwa persoalan SBI bukan hanya menyangkut kelengkapan gedung, tapi persoalan mind set atau pola pikir kepala sekolah. Oleh sebab itu, kita beri wawasan internasional mereka dengan mengirim belajar ke Singapura, Malasyia, dan Turki. Mereka belajar tentang leadership untuk menghadapi kompetisi internasional. Cakrawala dan paradigma tentang kepemimpinan maupun kegiatan pembelajaran diharapkan berubah menjadi lebih baik.

Selama berkunjung ke tiga negara tersebut, apakah mereka juga melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah untuk dijadikan rujukan bagi pengembangan SBI di sini?
Ya. Di Turki, misalnya, mereka kita ajak berkunjung ke sebuah sekolah setingkat SMA di Kota Angkara. Bangunan sekolah tersebut terdiri dari empat tingkat. Lantai 1, 2, dan 3 dipakai untuk kegiatan sekolah, sedangkan lantai 4 untuk asrama dan penginapan bagi tamu. Di sekolah tersebut juga ada ruang seminarnya.
Turki kita pilih karena, menurut Pak Menteri, merupakan satu-satunya negara yang bisa dijadikan contoh tentang besarnya perhatian masyarakat bisnis terhadap pendidikan. Mereka menyisihkan sebagian pendapatannya untuk membangun pendidikan. Apalagi mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia.


Apakah di Turki dan negara-negara lain juga memberlakukan bilingual?

Kalau saya lihat di Turki, juga Cina yang pernah saya kunjungi, mereka tidak mengutamakan kemampuan bahasa Inggris sebagai persyaratan yang menentukan bagi guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Bahkan di Cina kemampuan bahasa Inggris guru-gurunya sangat kacau, tapi kegiatan pembelajarannya bagus. Begitu pula di Turki, saya lihat banyak gurunya yang tidak bisa berbagasa Inggris, tapi pembelajarannya bagus. Kurikulum-kurikulum sekolah internasional seperti Cambridge mereka terapkan dengan menggunakan bahasa mereka sendiri.
Korea, Perancis, Jerman, kan juga begitu. Mereka lebih mengutamakan proses pembelajarannya, bukan kemampuan berbahasa Inggrisnya. Kurikulum Cambridge antara lain menuntut kreativitas tinggi dan kemampuan memecahkan masalah. Itu yang mereka lakukan dengan bahasa mereka sendiri.
Malaysia juga tak jauh beda. Di sana ada yang namanya cluster school, yang merupakan sekolah-sekolah berkualitas sangat baik. Ada sekitar 30 s.d 40 cluster school. Sekolah-sekolah itu menjadi pusat pembiakan bagi sekolah-sekolah lain dalam meningkatkan mutunya. Mereka juga tidak mengharuskan bilingual. Guru-guru dipersilahkan melakukan bilingual, tapi tidak dipaksa.

Melihat kesiapan SDM di R-SBI kita masih seperti itu, lantas apa yang harus dilakukan ke depan?
Fakta-fakta yang saya sampaikan di atas memberi gambaran bahwa banyak pekerjaan berat yang harus kita lakukan ke depan. SBI merupakan amanat UU Sisdiknas dan menjadi program Depdiknas. Tugas kita adalah merealisasikan program tersebut untuk meningkatkan mutu pendidikan. Kita akan terus memberi sentuhan dari sisi peningkatan kualitas tenaga kependidikannya, terutama kepala sekolahnya.